Agus Sunyoto:
Siti Jenar Dianggap Provokator Kesadaran
Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Historisitas sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan orang kini pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian serius telah menyingkap sosok dan aspek-aspek ajarannya. Benarkah ia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus Sunyoto, penulis tujuh jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial tersebut.
Mas Agus, bagaimana riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku orang yang mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya darimana memperoleh pengetahuan itu, dia jawab, ”Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!” Dia meninggal tahun 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. ”Berarti Mbah Hasyim mengajarkan soal ini, dong?” tanya saya. ”Lha, iya!” katanya. Saya berpikir, darimana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, saya mendapat jawaban yang sama. Jadi saya berkesimpulan bahwa benar bahwa Mbah Hasyim mengajarkan itu.
Apakah ajaran-ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinanan dari kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi guru (tarekat). Setelah itu baru boleh.
Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang mengklaim tersambung dengan dirinya?
Dalam hal egalitaranisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak mengenal adanya mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang adalah lawan bicara. Jadi tidak ada kultus mursyid. Ciri lainnya, cara mereka menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.
Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefenisikan. Laitsa kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada potensi-potensinya dalam diri semua manusia.
Manusia punya sifat sabar, karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah. Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan seringkali melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga mengejawantah di dalam diri manusia.
Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan. Karena itu, manusia harus mengamalkan watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya.
Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya dia bicara soal al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri dari tiga huruf: kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi ada pencipta dan ada ciptaan. Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, bagaimana cara si khalq menuju khâliq?
Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti.
Apa standar khuluq-nya di situ?
Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari perbuaran keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.
Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan. Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu `imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.
Lantas di mana titik polemis antara Siti Jenar dengan para wali lainnya?
Memang tidak ada (dalam soal itu). Tapi Siti Jenar juga mengajarkan unsur tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, bagi ulama yang berpikiran fiqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?!
Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) dan ungkapan lainnya. Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme.
Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi (nazariyyatul faidl) dari Ibu Sina?
Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: khâliq menjadi khalq. Kemudian ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid (penyembah). Hurufnya sama. Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara keduanya ada yang bernama `ibâd (kawulo). Dari sini juga muncul kata ibadah. Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah.
Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambahi-tambahi dalam agama. Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah. Kalau orang melakukan ibadah, misalnya sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.
Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. Anda memaknainya sebagai ”cahaya yang terpuji”, bukan cahaya Nabi Muhammad. Mengapa?
Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal. Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan hakikat muhammadiyah.
Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji nangka. Nah, hakeket muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya. Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apapun agama dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu.
Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa.
Bagaimana memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah?
Begini! Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa didefenisikan?
Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu atau to. Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi.
Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam bentuk kekuatannya.
Bagaimana membedakannya dengan paham animisme, misalnya?
Beda. Ini sesuatu yang dianggap ada rohnya. Kalau animisme dan dinamisme, semuanya benda saja. Ini tidak begitu; dia hanya berwujud kekuatan gaib. Ini juga ada ujungnya, yaitu Tuhan yang tidak bisa didefenisikan itu. Toyo tadi.
Kaum animis pun menganggap barang-barang sembahan itu hanya medium penyembahan saja?!
Tapi dalam animisme dan dinamisme, tidak ada konsep satu Tuhan yang abstrak. Sang Pencipta macam-macam, itu tidak ada. Dari situlah orang melakukan sesaji dengan tumpeng, tukung, tumbu, dan seterusnya. Bahkan untuk upacara tertentu yang bersifat rahasia untuk mewujudkan keinginan yang besar, biasanya ada sesembahan khusus yang bernama tumbal.
Bagaimana Siti Jenar menyikapi sesaji itu?
Dia melihat ujungnya adalah tauhid. Nah, masyarakat di luar Keraton waktu itu adalah pengikut ajaran ini, bukan ajaran Hindu. Agama Hindu itu hanya dianut orang-orang Keraton. Jadi mereka masih ke arah ini (tauhid). Dan masyarakat juga masih dibiarkan membikin tumpeng, sesaji, dan semacamnya.
Jadi dia tidak lakukan konfrontatif. Karena itu, tempat ibadahnya orang-orang Kapitayan yang namanya sanggar, bentuknya diambil-alih kemudian. Tapi namanya bukan lagi sanggar, tapi langgar. Karena itu langgar di Jawa itu berbeda dengan langgar di tempat lain. Yang namanya mihrab itu adalah ruang kosong yang menjorok ke dalam. Itu dulu punya orang Kapitayan. Tempatnya seperti gentong yang masuk ke dalam. Itulah namanya kosong, suwung. Bentuknya sama persis dengan mihrab sekarang.
Kemudian ada juga ibadah Kapitayan yang mirip seperti orang-orang Islam, yaitu tidak makan sehari. Tapi namanya bukan shaum, melainkan pawasa atau puasa. Itu artinya juga tidak makan sehari, dari bahasa Kawi. Kemudian juga cerita soal surga-neraka. Bagi Siti Jenar, tidak usah pakai istilah jannatul firdaus, jannatu adn, dan sebagainya. Masyarakat tidak mengerti. Maka dipakailah kata suwarga dan neraka yang orang-orang sudah mengerti. Kosa kata itu sudah digunakan sejak lama. Termasuk ketika menyebut penghuni surga. Tidak usah pakai hûrin `în segala. Orang tidak akan tahu. Pakai saja istilah bidadari.
Ajaran apa dari Siti Jenar yang dianggap mengkhawatirkan kekuasaan?
Ketika dia mengubah konsep kawulo menjadi masyarakat. Terutama ajaran tentang manunggaling kawulo gusti. Artinya, kesetaraan antara rakyat dengan penguasa. Masyarakat itu berarti orang yang punya hak sama, dari kata musyârakah (Arab: berpartisipasi dan bekerjasama). Pengikut-pengikutnya tak dibolehkan memakai kata kulo atau kawulo, tapi pakai kata ingsun. Makanya, orang Cirebon sampai sekarang menyebut aku, ya ingsun. Itu membuat marah raja. Dalam tatanan sosial-budaya saat itu, kata ingsun hanya berhak digunakan raja. Kok banyak orang desa menyebut dirinya ingsun?! Ini dianggap merusak tatanan.
Juga ajarannya bahwa pemimpin harus dipilih. Karena itu, demokrasi pertama itu ada pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dia yang memelopori kepemimpinan ki ageng. Kota Cirebon saat itu disebut garade (negara gede). Sebab, saat itu yang berkuasa orang-orang gede. Negaranya para orang gede. Maksudnya bukan negara yang besar. Tapi negaranya orang-orang besar.
Sekarang kita menerima kata masyarakat secara taken for granted. Kita tak tahu konsepsi apa di balik kata itu. Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Apakah ajaran Siti Jenar atau tarekatnya sekarang mungkin berkembang?
Mungkin saja. Tapi ajarannya itu sebenarnya tertutup. Ada beberapa pejabat aneh yang saya curigai menganut ajaran ini. Setelah saya dekati dan ajak ngobrol, ternyata benar. Masak pejabat tidak mau terima suap, tidak korupsi, dan sebagainya?! Ini kan aneh. Mengidentifikasi mereka itu gampang.
Mereka biasanya aneh dan tak mau ikut orang kebanyakan. Ada pejabat yang dalam kondisi sekarang kok jujur, tidak korupsi, tidak dekat-dekat wartawan. Pokoknya tak mau ikut kebiasaan para pejabat umumnya. Setelah saya dekati, biasanya dia mengaku pengikut Siti Jenar. Ada seorang pejabat yang tiap kali gajian justru membeli sembako untuk para tetangganya yang miskin. Padahal, hidupnya biasa-biasa saja. Ternyata, orang itu mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Pokoknya, orangnya aneh-aneh.
Jadi jauh dari kesan negatif yang dicitrakan selama ini, dong?!
Ya. Soalnya, babad-babad yang ditulis tentang Siti Jenar itu adalah tulisan orang Keraton semua. Mereka merasa sebagai pihak yang dirugikan oleh Siti Jenar. Karena itu, sikap orang Keraton Mataram sangat ambigu terhadap Siti Jenar. Di satu sisi mereka memitoskan hal-hal yang baik dari Siti Jenar, di sisi lain merasa dia membahayakan kedudukan raja. Dalam ajaran Siti Jenar tidak boleh ada kedinastian.
Aspek lain yang dianggap mengancam adalah soal pemimpin yang harus dipilih. Dulu tidak begitu. Pemimpin seperti jabatan dari Tuhan. Selain itu juga ajaran untuk menahan pajak sebagai penentangan terhadap pemimpin. Bagi Siti Jenar, kalau anda tak suka kekuasaan, ya apa yang mendukung kekuasaan itu dipotong saja. Jadi, perlawanannya taktis. Kalau diperintah sesuatu, bilang ”ya” saja, tapi jangan dilakoni. Makanya, para penguasa jengkel. Bagi pemerintah saat itu, apa yang dikatakan itu serius sekali. Siti Jenar dianggap provokator yang membangkitkan kesadaran orang atas hak-haknya. []